Batang – Pemakzulan presiden atau wakil presiden di Indonesia ternyata tak selalu harus dilakukan secara bersamaan. Hal ini ditegaskan oleh Prof. Siti Zuhro, pakar politik dari BRIN, dalam diskusi virtual Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertema "Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Perspektif Hukum dan Politik", Senin (16/6/2025).
Prof. Zuhro memaparkan, sejarah Indonesia mencatat beberapa kasus di mana kepala negara atau wakilnya lengser dari jabatannya tanpa melibatkan pasangannya. "Secara empiris, kita pernah mengalami ‘dwi tunggal’ yang berpisah di tengah jalan. Ini bukan hanya terjadi pada kepala daerah dan wakilnya, tetapi juga di tingkat nasional, termasuk contohnya Wakil Presiden," ujarnya.

Ia mencontohkan sejumlah presiden dan wakil presiden yang pernah mundur atau lengser dari jabatannya, seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, dan Presiden Abdurrahman Wahid. "Pengalaman empiris ini menunjukkan bahwa mundurnya atau berhentinya, bahkan pemakzulan presiden, pernah terjadi tanpa harus melibatkan pasangannya," jelas Prof. Zuhro.

Related Post
Lebih lanjut, Prof. Zuhro menekankan bahwa argumen yang menyatakan pemakzulan harus dilakukan secara "sepaket" tidaklah relevan dan perlu dipertanyakan. "Capres dan cawapres memang diamanatkan konstitusi, tetapi setelah dilantik menjadi presiden dan wakil presiden, pertanggungjawaban atas tindakan dan pelanggaran hukum yang dilakukan menjadi ranah masing-masing. Sangat tidak logis jika hal itu disebut sebagai ‘paket’," tegasnya. Kesimpulannya, sejarah membuktikan bahwa pemakzulan di Indonesia tidak selalu harus sepaket.
Leave a Comment