Semarang – Jawa Tengah menduduki peringkat teratas dalam jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) RI mencatat, hingga 26 September 2024, terjadi 52.993 kasus PHK di seluruh Indonesia. Jawa Tengah menjadi wilayah dengan angka PHK tertinggi, mencapai 14.767 kasus.
"Ini menjadi tamparan bagi Pemprov Jawa Tengah yang gencar menarik investor," ujar Aulia Hakim, Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Tengah, Senin (30/9/2024).
Aulia menilai, kondisi ini ironis mengingat Jawa Tengah dikenal dengan upah buruh yang relatif rendah. "Kita terus menggembar-gemborkan investasi dengan iming-iming upah murah, tapi nyatanya PHK-nya justru paling banyak," tegasnya.
Lebih lanjut, Aulia menyoroti perbedaan data PHK antara Pemprov Jawa Tengah dan KSPI. "Data kami di KSPI, dua tahun terakhir, mencatat 9.885 kasus PHK. Itu baru dari satu konfederasi. Sementara data Pemprov Jawa Tengah hanya menyebutkan 4 sampai 5 ribu buruh yang di-PHK," paparnya.
Perbedaan data ini, menurut Aulia, menuntut evaluasi serius. "Kami siap untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi data agar permasalahan PHK di Jawa Tengah bisa terselesaikan," tegasnya.
Aulia juga mengungkapkan alasan utama terjadinya badai PHK di Jawa Tengah, khususnya di sektor garmen dan tekstil. Ia menuding Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 tentang Pelepasan Peti Kemas Barang Impor sebagai salah satu penyebabnya.
"Permendag sebelumnya menahan impor, karena produksi dalam negeri overload. Namun, dengan Permendag terbaru, barang tekstil dan garmen dari Tiongkok dan Korea Selatan membanjiri pasar dalam negeri," jelasnya.
Aulia menambahkan, produk Tiongkok cenderung lebih murah dan berkualitas, sehingga semakin menekan industri dalam negeri. Ditambah lagi, penurunan daya beli di kelas menengah atas, yang mencapai 30 persen, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), semakin memperparah situasi.
"Ini memengaruhi tingkat konsumsi di Jawa Tengah, termasuk buruh yang notabene merupakan konsumen utama. Alhasil, produksi berkurang dan bahan baku terhambat," sambungnya.
Meskipun pemerintah kerap menuding kondisi global, khususnya perang Rusia-Ukraina, sebagai penyebab PHK, Aulia menilai, faktor internal juga perlu menjadi fokus utama. "Memang ada dampak global, tapi kita juga harus melihat faktor internal yang menjadi pemicu utama," pungkasnya.