Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang direncanakan tahun ini menimbulkan kekhawatiran akan masa depan birokrasi Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh analis politik Ray Rangkuti dalam sebuah seminar bertajuk "Revisi UU ASN Ancaman Bagi Masa Depan Birokrasi" di Aula Syahidain, Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (1/5/2025). Seminar tersebut digagas oleh Gerakan Rakyat, berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) Jakarta.
Rangkuti memperingatkan potensi sentralisasi birokrasi ke pemerintah pusat sebagai dampak dari revisi UU ASN. Menurutnya, hal ini akan membatasi kewenangan kepala daerah dan mengganggu otonomi daerah, bahkan berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. "Birokrasinya tidak lagi bisa sepenuhnya dielaborasi oleh kepala-kepala daerah mengingat ketertumpuan mereka sekarang ke pemerintah pusat," tegas Rangkuti. Ia juga menyoroti potensi munculnya hambatan birokrasi jika kepala daerah berasal dari partai politik yang berbeda dengan presiden.
Senada dengan Rangkuti, M. Amiruddin dari BEM Unindra menekankan pentingnya pengawasan dan pengkajian kritis terhadap revisi UU ASN. "Kita hidup dalam negara demokrasi yang sangat bergantung pada keteraturan hidup, dan keteraturan itu sangat bergantung pada bagaimana keefektifan birokrasi," ujarnya, menekankan urgensi memastikan revisi UU ASN benar-benar memperbaiki tata kelola birokrasi. Seminar tersebut juga menghadirkan narasumber akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak.
Kekhawatiran para pembicara seminar ini menyoroti pentingnya perdebatan publik yang lebih luas mengenai revisi UU ASN. Potensi ancaman terhadap otonomi daerah dan efektivitas birokrasi menjadi isu krusial yang perlu dipertimbangkan sebelum revisi tersebut disahkan.