Surabaya, Portal Batang ID – Komisi B DPRD Jawa Timur kembali menyoroti efektivitas program Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur. Sorotan tajam ini mengarah pada lemahnya pengawasan di lapangan yang berimbas pada kesejahteraan nelayan yang tak kunjung membaik.
Muhammad Mughni, juru bicara Komisi B DPRD Jatim, mengungkapkan bahwa masalah klasik di sektor kelautan dan perikanan terus berulang setiap tahun tanpa solusi yang berarti. Salah satu masalah utama adalah pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap ilegal seperti cantrang yang masih marak terjadi.

"Pengawasan alat tangkap cantrang masih lemah dan belum menyentuh akar persoalan di lapangan. Pelanggaran masih banyak terjadi di berbagai wilayah pesisir Jawa Timur," tegas Mughni, Senin (3/11).
Lemahnya pengawasan ini, menurut Mughni, berdampak serius pada kerusakan ekosistem laut dan mengganggu rantai makanan. Ia mengingatkan bahwa pemulihan ekosistem yang rusak membutuhkan waktu yang sangat lama, bisa mencapai dua dekade. Konflik antar nelayan juga terus terjadi, terutama di daerah-daerah rawan seperti Masalembu, antara nelayan lokal dan nelayan dari luar daerah yang menggunakan cantrang.
Ironisnya, permintaan nelayan untuk pembangunan Pos Keamanan Laut Terpadu (Poskamladu) di kawasan konflik belum juga terealisasi, meski sudah berulang kali diajukan kepada DKP.
Komisi B juga menyoroti ketimpangan antara tingginya produksi perikanan tangkap di Jawa Timur dengan rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan. "Jawa Timur ini produsen ikan tangkap terbesar di Indonesia. Tapi kesejahteraan nelayan kita belum sebanding," ungkap Mughni. Data menunjukkan Nilai Tukar Nelayan (NTN) Jatim per September 2025 hanya 97,38, masih di bawah angka ideal 100.
Tak hanya sektor perikanan, subsektor garam rakyat juga tak luput dari kritik. Persoalan klasik seperti gagal panen akibat cuaca ekstrem dan fluktuasi harga yang tak menentu masih menghantui petani garam. Kualitas garam rakyat yang rendah, dengan kadar NaCl di bawah 94 persen, juga menjadi masalah serius karena industri enggan menyerap hasil panen tersebut.
Menanggapi berbagai persoalan ini, Komisi B DPRD Jatim mendesak DKP untuk tidak hanya fokus pada output administratif, tetapi benar-benar memastikan program yang dijalankan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat pesisir.
"Kebijakan DKP harus berdampak nyata bagi kesejahteraan nelayan, keberlanjutan ekosistem laut, dan ketahanan ekonomi maritim Jawa Timur," tegas Mughni.
Sebagai informasi tambahan, DKP Jatim diproyeksikan menerima alokasi anggaran sebesar Rp189,36 miliar pada APBD Tahun 2026, setelah efisiensi. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 28,54 persen dibandingkan pagu KUA-PPAS 2026.
