Polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2025 tentang pemilu kembali memicu perdebatan. Anggota Komisi II DPR Fraksi PKB, Muhammad Khozin, menilai MK telah bergeser dari perannya sebagai penjaga konstitusi menjadi lembaga ketiga pembentuk undang-undang, sejajar dengan pemerintah dan DPR. Hal ini disampaikan Khozin menyusul putusan MK yang membagi pemilu menjadi pemilu nasional dan lokal.
"MK mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator," tegas Khozin dalam keterangannya kepada Portal Batang ID, Sabtu (5/7/2025). Ia mempertanyakan kewenangan MK yang dengan dalih menjaga konstitusi tetap adaptif, justru bertransformasi menjadi perumus undang-undang. Khozin mendesak adanya penegasan bersama terkait fungsi dan peran MK agar putusan-putusan kontroversial tidak menimbulkan celah penolakan terhadap produk perundangan.

"Pembentukan produk perundangan membutuhkan biaya, tenaga, dan waktu yang besar. Jangan sampai ada ketidakpastian hukum," lanjut Khozin. Ia bahkan menyarankan konstitusional engineering terkait tugas pokok dan fungsi MK jika memang lembaga tersebut telah bertransformasi menjadi pembentuk UU ketiga.
Sorotan tajam PKB juga tertuju pada putusan Nomor 135/2025 yang dianggap paradoksal dan kontradiktif dengan putusan sebelumnya, Nomor 55/2019. Dalam putusan 55/2019, MK menolak menentukan model keserentakan pemilu karena itu merupakan wewenang pembuat UU. Namun, dalam putusan 135/2025, MK justru memerintahkan pemilu nasional dan lokal terpisah.
"Ini langkah yang kontradiktif," ungkap Khozin. Karena itu, PKB menyarankan pemerintah untuk tidak langsung melaksanakan putusan MK Nomor 135/2025. Pelaksanaan putusan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan inkonstitusionalitas karena berbenturan dengan beberapa pasal dalam UU, seperti Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) yang mengatur pelaksanaan pemilu lima tahun sekali. "Secara implementasi, putusan ini tidak otomatis bisa dilaksanakan," pungkas Khozin.
